Karawang, Onediginews.com – Hari ini, tepat satu tahun kasus Covid-19 pertama di Indonesia diumumkan oleh Presiden Jokowi. Sejak itu, jumlah kasus positif Covid-19 di Indonesia terus meningkat.
Hingga 1 Maret 2021, tercatat jumlah kasus Covid-19 di Indonesia adalah 1.341.314 orang.
Pada 31 Desember 2019, ketika China pertama kali melaporkan kasus virus corona ke Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), penyakit itu digambarkan sebagai jenis pneumonia baru yang misterius. Ia bahkan tidak memiliki nama.
Dalam dua minggu, para ilmuwan China telah mengidentifikasi urutan genom virus, kode genetik yang menyusun virus.
Dalam tiga minggu, alat tes pertama telah dibuat dan kemudian dibagikan oleh WHO. Dan lebih dari 11 bulan sejak virus dilaporkan ke WHO, orang pertama divaksinasi, menjadikan suntikan vaksin tercepat yang pernah dikembangkan.
Para ilmuwan mengatakan, kecepatan mereka mempelajari virus corona belum pernah terjadi sebelumnya. Hingga kini, banyak hal terkait Covid-19 yang telah berhasil diungkap para ilmuwan.
Meski demikian, masih banyak juga yang belum diketahui tentang virus corona. Salah satunya, kapan pandemic Covid-19 akan berakhir?
“Kami telah belajar banyak sekali, tetapi untuk memahami segala sesuatu secara mendetail, kami masih membutuhkan lebih banyak waktu,” kata Maureen Ferran, seorang profesor biologi di Rochester Institute of Technology.
“Virus ini akan membuat ahli virologi dan pejabat kesehatan masyarakat sibuk selama beberapa dekade.”
1. Bagaimana penularan Covid-19 tanpa gejala terjadi?
Penyebaran tanpa gejala: Kemampuan SARS-CoV-2, virus di balik pandemi Covid-19, sangat luar biasa dalam menularkan dari orang ke orang.
Hingga Juni 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menekankan bahwa prevalensi penyebaran tanpa gejala tetap menjadi misteri.
Sementara hasil penelitian selama setahun terakhir menunjukkan, sekitar setengah dari semua kasus Covid-19 ditularkan dari orang tanpa gejala (OTG)
“Alasan virus corona dapat menyebar tanpa gejala masih belum diketahui,” kata Ross McKinney Jr., MD, kepala ilmuwan di AAMC dan spesialis penyakit menular.
“Gejala utamanya disebabkan oleh reaksi kekebalan. Dengan SARS-CoV-2, beberapa orang pasti terinfeksi, tetapi reaksi kekebalan tubuh mereka tidak cukup [untuk memicu gejala].”
2. Berapa banyak dosis virus corona sampai bisa menginfeksi?
Para ilmuwan mengatakan, cara utama penyebaran virus adalah melalui droplet atau tetesan yang dikirim ke udara saat seseorang berbicara, batuk atau bersin. Penggunaan masker wajah, mencuci tangan, dan menjaga jarak terbukti dapat membantu mencegah penyebarannya.
Tetapi beberapa ilmuwan lain berpendapat, bahwa virus corona juga disebarkan oleh aerosol – partikel yang jauh lebih kecil yang dapat bertahan di udara selama berjam-jam dan menempuh jarak yang jauh.
Pertanyaan yang muncul, menurut Maureen Ferran, profesor biologi di Rochester Institute of Technology adalah, berapa dosis virus corona yang dibutuhkan seseorang sampai bisa terinfeksi? Hingga kini hal itu belum diketahui.
3. Mengapa pengujian belum bisa dilakukan secara teratur?
Selain tindakan pencegahan seperti memakai masker dan menjaga jarak, cara terbaik untuk mengekang penyebaran virus SARS-CoV-2 adalah dengan mengisolasi orang yang terinfeksi.
Untuk melakukan ini secara efektif, pengujian yang akurat dan memberikan hasil yang cepat sangat penting.
Tetapi bahkan setelah setahun pandemi, masih banyak orang tidak dapat diuji secara teratur untuk mengidentifikasi dan menghentikan wabah Covid-19 lebih awal.
Hal ini juga terjadi di Indonesia. Bahkan berulang kali epidemiolog mengatakan bahwa pemerintah Indonesia sejak awal terlalu lambat dalam melakukan tracing dan testing.
Michael Mina, MD, PhD, asisten profesor epidemiologi di Harvard T.H. Chan School of Public Health dan anggota fakultas di Center for Communicable Disease Dynamics, telah mengadvokasi pemerintah AS untuk menyetujui dan mendistribusikan alat pengujian di rumah.
“Meskipun rapid test antigen tidak sepeka tes polymerase chain reaction (PCR), tes tersebut dirancang untuk mendeteksi virus pada saat seseorang paling menular,” jelas Ross McKinney Jr., MD, kepala ilmuwan di AAMC dan spesialis penyakit menular.
4. Mengapa efek Covid-19 berbeda pada setiap orang?
Ketika Covid-19 pertama kali diidentifikasi, tampak terlihat sebagai penyakit pernapasan, seperti demam, batuk, dan sesak napas.
Namun seiring berjalannya waktu, berbagai gejala dan komplikasi penyakit ini mulai terlihat.
Banyak orang kehilangan indra perasa dan penciumannya, muntah dan diare, atau mengalami perubahan warna pada jari tangan atau kaki mereka. Beberapa bahkan mengalami gangguan kognisi atau kerusakan otak.
Peneliti juga mengungkap, bahwa mereka yang pulih dari Covid-19 dapat mengalami efek jangka panjang atau long covid, termasuk kecemasan, kerusakan otak atau brain fog, dan kelelahan kronis.
Dibanding wanita, data penelitian menunjukkan lebih banyak pria yang meninggal karena Covid-19. Tetapi, ditemukan lebih banyak wanita yang melaporkan menderita gejala jangka panjang atau long covid daripada pria.
Selain itu, angka kematian juga tinggi pada orang lanjut usia yang terinfeksi Covid-19.
Orang-orang yang memiliki komorbid atau penyakit penyerta, seperti hipertensi dan diabetes berisiko lebih tinggi mengembangkan gejala parah Covid-19.
Sementara Colignon mengatakan, anak-anak cenderung mengalami infeksi Covid-19 yang tidak terlalu serius, ini kemungkinan karena mereka memiliki lebih sedikit reseptor ACE2 di hidung mereka. Reseptor ini adalah cara virus corona masuk ke dalam sel tubuh.
“Berbagai gejala dan proses penyakit yang dialami pasien Covid-19 adalah misteri besar lain dari virus ini,” kata McKinney.
5. Berapa lama kekebalan bertahan?
Pada bulan Agustus, peneliti dari Universitas Hong Kong mengatakan seorang pria berusia 33 tahun kembali terinfeksi Covid-19 – 4,5 bulan setelah dia pertama kali terinfeksi.
Itu sepertinya mengonfirmasi apa yang ditakuti beberapa orang – bahwa mungkin saja terinfeksi dua kali.
Kabar baiknya, menurut Collignon, adalah meski dapat terinfeksi dua kali, itu sangat jarang terjadi.
“Sekitar 99% orang yang terinfeksi virus tampaknya tidak terinfeksi lagi, setidaknya selama enam bulan setelah mereka terinfeksi,” kata Collignon.
Pertanyaan besar yang kemudian muncul adalah, berapa lama kekebalan alami dari virus corona bertahan?
Para ilmuwan belum dapat menjawabnya. Hal yang sama berlaku untuk vaksin – belum diketahui berapa lama kekebalannya bertahan.
“Para ilmuwan berasumsi, bahwa vaksin akan memberikan beberapa bentuk kekebalan selama beberapa tahun. Tapi intinya, kami belum tahu,” kata Colignon.
Ferran mengingatkan, semakin lama menunda vaksinasi, semakin besar peluang virus corona untuk bermutasi.
Beberapa vaksin baru menggunakan teknologi mRNA, yang belum pernah digunakan secara luas sebelumnya – sehingga menimbulkan pertanyaan, apakah kekebalan dari vaksin tersebut akan bertahan untuk jangka waktu yang sama seperti vaksin tradisional?
6. Kapan pandemi Covid-19 akan berakhir?
Banyak orang di dunia menggantungkan harapan mereka pada vaksin, tetapi itu pun bukan perbaikan yang cepat.
Kemungkinan akan membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk memvaksinasi sebagian besar populasi dunia.
“Saya pikir vaksin adalah cara yang harus dilakukan. Tetapi orang-orang tampaknya memiliki pandangan bahwa itu akan memberi perlindungan 100%. Padahal, tidak ada vaksin yang melakukan itu,” jelas Collignon.
Dan bahkan jika seseorang divaksinasi, para ilmuwan belum tahu apakah mungkin mereka bisa tertular virus corona dan menyebarkannya.
Sekalipun vaksinasi berhasil didistribusikan lebih luas, menurut para peneliti, kita kemungkinan tetap akan hidup dengan virus corona. (red)