KARAWANG | ONEDIGINEWS.COM | Langkah hukum sejumlah masyarakat Karawang yang mengajukan Judicial Review (JR) ke Mahkamah Agung (MA) atas Surat Keputusan (SK) Bupati Karawang Nomor: 973/Kep-502-Huk/2021 tentang Penyesuaian Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (NJOP PBB-P2) mendapatkan sorotan tajam dari kalangan akademisi hukum.
Dr. Muhammad Gary Gagarin SH. MH., Kepala Program Studi Fakultas Hukum Universitas Buana Perjuangan (UBP) Karawang, menilai gugatan warga yang menyoal SK Bupati tersebut tidak tepat secara kompetensi absolut peradilan.
Meskipun demikian ia mengapresiasi upaya warga sebagai bentuk kontrol konstitusional. Dr. Gary menegaskan bahwa objek yang digugat ke MA keliru.
”Pertama, kami sangat mengapresiasi langkah hukum yang ditempuh masyarakat. Ini adalah wujud kontrol konstitusional yang baik terhadap produk hukum daerah,” ujar Dr. Gary di Karawang.
Namun, Dr. Gary langsung menggarisbawahi permasalahan mendasar dalam pengajuan gugatan tersebut.
Menurutnya, SK Bupati Karawang tersebut bukan merupakan objek yang berhak diuji oleh Mahkamah Agung.
”Objek yang diajukan ke Mahkamah Agung, yaitu SK Bupati, menurut pandangan kami tidak tepat secara kompetensi absolut peradilan. Gugatan tersebut berpotensi keliru alamat,” tegasnya.
Ia menjelaskan bahwa kewenangan Judicial Review Mahkamah Agung, sesuai Pasal 24A ayat (2) UUD 1945, hanya untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang (regeling). Sementara, SK Bupati merupakan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN).
Dr. Gary merincikan perbedaan konsep hukum administrasi negara yang menjadi kunci masalah ini:
• Regeling (Peraturan Perundang-undangan): Bersifat umum dan abstrak, berlaku untuk setiap orang. Ini yang menjadi objek uji di MA.
• Beschikking (Keputusan/KTUN): Bersifat konkret, individual, dan final. SK Bupati tentang penyesuaian NJOP PBB-P2 dikategorikan sebagai Beschikking karena mengatur satu hal tertentu dan dampaknya spesifik.
“Dalam hierarki peraturan perundang-undangan, SK Bupati sebagai KTUN tidak termasuk sebagai peraturan perundang-undangan (regeling). Oleh karena itu, pengajuannya ke MA berpotensi tidak sesuai,” jelas Kaprodi Fakultas Hukum UBP ini.
Berdasarkan perbedaan tersebut, Dr. Gary menyimpulkan bahwa jalur hukum yang seharusnya ditempuh adalah mengajukan gugatan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
”Kami mendukung penuh langkah konstitusional masyarakat. Namun, penting bagi tim kuasa hukum untuk memperhatikan kaidah hukum acara yang berlaku. SK Bupati seharusnya diajukan gugatan di PTUN, bukan judicial review ke Mahkamah Agung,” tutup Dr. Gary.