KARAWANG | ONEDIGINEWS.COM | Pola tata kelola pemerintahan daerah di Indonesia hari ini menunjukkan gejala yang mulai mengkhawatirkan yakni, degradasi otonomi daerah.
Pasalnya, di banyak wilayah, fenomena dominasi Gubernur yang kian sering “turun gunung” seolah mengintervensi urusan teknis kabupaten/kota dan menjadi pemandangan umum, membuat peran Bupati dan Walikota seperti tereduksi menjadi sekadar “figuran” atau penonton pasif.
Analisis ini muncul dari pengamatan terhadap pergeseran relasi kekuasaan, di mana konstitusi yang menjamin hubungan koordinatif antara Provinsi dan Kabupaten/Kota, kini dalam praktik didominasi oleh nuansa subordinatif.
Secara yuridis, Provinsi tidak pernah ditempatkan sebagai atasan langsung Kabupaten. Kewenangan Gubernur seharusnya sebatas pembinaan dan pengawasan, bukan mengkomandoi bupati atau mengambil alih agenda lokal.
“Ini bukan pembinaan. Ini bukan koordinasi. Ini adalah intervensi kewenangan yang mengacaukan struktur pemerintahan daerah,” demikian kritik keras dari berbagai pihak yang juga turut menyoroti masalah ini.
Intervensi ini seringkali berlindung di balik frasa “percepatan pembangunan” atau “pengawasan”.
Namun, dalam realitasnya, Gubernur kerap mengatur urusan teknis, mengambil alih peran problem solver tunggal, bahkan mengumumkan program daerah seolah-olah tanpa melibatkan pemangku kewenangan yang sah, yakni Bupati/Walikota.
Pola dominasi ini disinyalir kuat dipicu oleh faktor politik visual. Di era digital, citra pemimpin yang terlihat aktif di lapangan menjadi mata uang politik.
Fenomena yang muncul adalah politik panggung, Gubernur turun langsung ke masalah lokal, mengambil kredit kebijakan, dan mengukuhkan diri sebagai pahlawan di wilayah otonomi daerah lain.
Sementara itu, Bupati/Walikota kerap ditempatkan dalam posisi marginal—sekadar menemani, berfoto di belakang panggung, atau bahkan sengaja tidak diundang dalam acara yang sejatinya berada di bawah yurisdiksi mereka.
Jika praktik ini terus berlanjut, Bupati/Walikota hanya akan menjadi administrator tanpa otoritas.
Padahal, merekalah aktor utama yang paling mengetahui karakter wilayah, kebutuhan masyarakat, dan dinamika ekonomi lokal—informasi krusial yang esensial untuk kebijakan tepat sasaran.
Risiko terbesarnya, Yang dirugikan bukan pejabatnya, tetapi rakyat yang kehilangan kesempatan menikmati kebijakan yang inovatif dan sesuai kebutuhan daerahnya sendiri.
Otonomi daerah diperjuangkan pasca-Reformasi sebagai antitesis terhadap sentralisasi kekuasaan Orde Baru.
Tujuannya adalah mendorong inovasi lokal, memperkuat pelayanan publik, dan mempercepat penyelesaian masalah daerah melalui desentralisasi kekuasaan.
Apabila kemudian Gubernur mulai bertindak sebagai “penguasa kabupaten,” sistem ini berarti sedang berjalan mundur, mengulang pola pusatisme yang hanya berganti wajah.
Untuk mengembalikan relasi pemerintahan daerah yang sehat dan proporsional, terdapat tiga langkah mendesak yang perlu dilakukan.
Pemerintah Pusat harus segera mempertegas batas antara fungsi pembinaan, pengawasan, dan intervensi kewenangan.
Tafsir yang terlalu longgar tidak boleh lagi menjadi celah bagi Gubernur untuk bertindak sebagai “komandan kabupaten.”
Para Bupati/Walikota didorong untuk lebih berani memperjuangkan dan menjaga ruang otonomi mereka. Ketegasan ini adalah kunci agar otonomi daerah dapat hidup dan berfungsi sesuai amanat konstitusi.
Masyarakat perlu diedukasi mengenai skema kewenangan yang benar. Tujuannya agar publik tidak mudah terkecoh oleh pencitraan politik dan dapat menilai kinerja pemimpin daerah secara objektif berdasarkan peran hukumnya.
Pada intinya, otonomi daerah bukanlah sekadar simbol atau jargon, tetapi sebuah sistem yang harus dijaga integritasnya.
Indonesia membutuhkan kolaborasi, bukan kompetisi panggung, koordinasi, bukan dominasi, dan yang paling penting—otonomi, bukan subordinasi.
Kehilangan peran Bupati berarti hilangnya ruang inovasi dan semangat desentralisasi yang telah susah payah diperjuangkan.
Intervensi Gubernur dalam urusan teknis Kabupaten/Kota, yang menjadikan Bupati/Walikota sebagai “figuran,” secara yuridis bertentangan dengan prinsip desentralisasi, otonomi seluas-luasnya, dan hubungan koordinatif sebagaimana diamanatkan oleh UUD NKRI 1945 Pasal 18 ayat 1 dan 5, dan diperinci dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 Pasal 1 angka 6, Pasal 10, 35 , 372 dan 373.
Penulis : onediginews.com





