KARAWANG | ONEDIGINEWS.COM | Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) yang seharusnya gratis dan meringankan masyarakat berpenghasilan rendah, diduga kuat dinodai oleh praktik pungutan liar (Pungli) di Desa Cadaskertajaya, Kecamatan Telagasari, Kabupaten Karawang.
Kasus ini semakin memanas setelah beredarnya video kesaksian warga yang secara gamblang menyebutkan besaran pungutan yang dibebankan kepada mereka, jauh melampaui batas maksimal Rp150.000 per bidang yang ditetapkan negara berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri.
Fakta di lapangan Desa Cadaskertajaya menunjukkan adanya pungutan fantastis. Suara warga yang menjadi korban dugaan pungli Pjs Kades dan Sekretarisnya kini mulai bersuara terbuka.
*Warga 1: Dalam sebuah rekaman video yang sampai ke redaksi onediginews.com, tampak seorang ibu, yang dipanggil “Bis,” ditanya mengenai biaya pengurusan PTSL.
Ia menjawab, “Ah, saya setor [bayar] setengah dua [dua setengah, yaitu Rp. 1,5 Juta].” Meskipun ia menyatakan sertifikatnya sudah jadi dan diambil sendiri.
Ironis, angka pungutan tersebut 10 kali lipat lebih tinggi dari batas maksimal Rp150.000.

*Warga 2: Seorang ibu menyampaikan bahwa untuk satu sertifikat, total uang yang sudah dikeluarkan pada Maret tahun 2024 lalu adalah Rp2,5 Juta (Rp5 Juta sudah 2,5) dengan rincian:
- Rp300.000 diserahkan kepada Sekretaris Desa (Sekdes) Maman.
- Rp2.000.000 diserahkan melalui pihak lain (disebutkan “Juru Tulis berinisial D”).
- Rp200.000 diminta lagi melalui pihak lain (disebutkan ” RT S”).
- Ibu tersebut juga menekankan, “Cuma, sertifikatnya belum jadi sampai sekarang,”.
*warga 3 : ia mengaku sudah membayar biaya PTSL mencapai hingga Rp. 4,1 juta untuk dua bidang tanah, diduga setor ke Sekdes Cadas Kertajaya Maman. Dengan rincian : ” Rp. 1,6 juta awal mau bikin sertifikat, lalu minta nambah buat ahli waris Rp. 1,5 juta dan terakhir Rp. 1juta (seraya menunjukan sebagian bukti transfer dari warga tersebut kepada Sekdes Maman via Bank Mandiri). “Kalau pajak kan beda lagi, gak masuk ke pak maman”, tambahnya.

Ironis, dengan biaya yang lebih tinggi dari aturan perundang-undangan, namun tidak menunjukkan bahwa biaya jutaan rupiah tersebut dapat menjamin proses sertifikasi selesai.
Fakta-fakta ini jelas kontradiktif dengan pernyataan Sekretaris Desa Cadaskertajaya, Maman, yang meskipun tidak membantah adanya pungutan di luar batas wajar, berdalih bahwa pungutan jutaan rupiah itu hanya untuk “Biaya operasional” seperti pemasangan patok, pengukuran tanah, konsumsi, dan yang paling kontroversial, untuk “suguhan, makan-minum” bagi petugas BPN yang lembur.
Sekdes Maman juga mengklaim bahwa pungutan tersebut adalah hasil “kesepakatan” yang diputuskan setelah musyawarah dengan warga dan mengaitkannya dengan kebijakan Pjs Kades saat itu.
Terpisah, dari pada memberikan penjelasan, Pjs Kepala Desa (Kades) Cadaskertajaya saat itu, Nurki, memilih bungkam.
Sementara itu, Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Cadaskertajaya, Samsudin Haris, yang awalnya membenarkan adanya pungutan minimal Rp800.000, kini ironisnya memilih menarik ucapannya.
BPD tiba-tiba membuat Surat Pernyataan Bermaterai yang seolah membantah dan membela mantan Pjs Kades Nurki dan Sekdes Maman.
Dalam surat klarifikasinya, meskipun BPD menyatakan bahwa Kades akhirnya menolak penambahan biaya di luar ketentuan dan biaya yang dipungut tetap Rp150.000 (Poin 2), Ketua BPD (Samsudin Haris) dalam poin pertama surat tersebut justru membenarkan adanya tambahan biaya dari Rp150.000 menjadi Rp800.000 dengan alasan “terjadi kesalahan/terkait gambar ukur yang menyebabkan pihak penggar harus berkali-kali melakukan pengukuran ulang.”
Kontradiksi antara kesaksian langsung dari warga dan pembelaan kontroversial Sekdes Maman serta inkonsistensi BPD, semakin menimbulkan tanda tanya di tengah masyarakat terkait transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan program PTSL di Desa Cadaskertajaya.
Kasus ini mendesak adanya penyelidikan lebih lanjut dari aparat penegak hukum dan instansi terkait untuk memastikan program PTSL berjalan sesuai ketentuan dan tidak membebani masyarakat.
Reporter : Nina Melani Paradewi





